Sabtu, 18 September 2010

CINTA DAN PENGORBANAN


Dedaun nyiur melambai-lambai seolah-olah memanggil insan yang sedang memerhatikannya. Sesekali,lambaian itu kelihatan lemah, tidak bermaya. Terkadang menggambarkan nyanyianya mengharapkan sesuatu, mungkin pertolongan dari hati suci nan tulus. Ditambah pula deruan ombak menghempas pantai menggamit suasana tenang,sepi. Kelihatan pasangan bahagia berjalan di gigi pantai sambil berpegangan tangan,mungkin sedang mengatur janji kehidupan. Namun berbeda sekali dengan insan yang sedang merenung  di kejauhan tepi pantai itu. Kelihatan badan yang tidak bermaya ibarat si penagih yang sedang menuggu saat kematian. Dia menunduk pada pasir nan putih,mungkin mengenang cerita lalu.
"kamu suka laut?"Diriku tersentak mendengar pertanyaan itu. "Laut?" Tanyaku kembali. "Suka…"Aku menambah. "Tau tak laut itu menggambarkan apa?"Tanyanya lagi. "Laut menggambarkan ikan,"jawabku seadanya. Dia menjeling. Mungkin kurang senang dengan jawabanku. Kelihatan jelingan mata yang bulat itu memperlihatkan kematangan yang ada pada dirinya. Dia bersuara kembali. "Cinta adalah laut. Laut yang tidak berpenghujung ibarat cinta yang tiada berakhir. Cinta yang tiada noktah. Cinta yang abadi…"Aku tersentak mendengar jawapannya. Belum sempat aku berkata,dia berlalu pergi sambil melemparkan senyuman manis dan lambaian suci ke arahku. Dia berlalu pergi. Dan entah mengapa,diri ini tiada terdaya mengejarnya.

------------------------

Malam itu,susahbagiku untuk melelapkan mata. Hati terasa resah,gundah. Bacaan Al-Quran yang ku dengar dari kaset  itu telah habis diputar. Aku beristighfar berkali-kali. Namun tiada juga terlelap mata ini. Masih terngiang-ngiang di telinga akan kata-kata Mei Ling di pantai petang tadi. Mei Ling,anak seorang hartawan wanita cina di pekanku telah dua tahun ku kenal. Minatnya dalam mendalami ajaran agama Islam menyebabkan aku kagum padanya. Akulah sumber rujukannya dari dulu. Aku dijadikan tempat bertanya tentang kemusykilan dalam ajaran Islam,tentang pandangannya yang negatif terhadap Islam serta segala permasalahan yang ada sepanjang mendalami ajaran suci ini. Walaupun dia masih belum mendapat hidayah dari-Nya, namun dia telah menghafal beberapa surah pendek dalam Al-Quran. Akulah yang mengajarnya bacaan tajwid dan cara bacaan yang betul.Di pantai itulah,dia menuntut ilmu dariku. "Fir,bolehkah aku bertanya?" tanya Mei Ling tiba-tiba. " Ah…Kau ini Mei…Mengapa perlu diminta keizinan? Tanyakan saja.."Balasku sambil tersenyum. "Fir,apa pendapat mu tentang Islam?"Tanya Mei Ling kembali. "Mei, mengertilah, Islam itu agama yang syumul, sempurna. Islam merangkumi semua aspek kehidupan. Apa saja yang menjadi pertanyaan dalam hidup ini, Islam ada jawabannya. Dan Al-Quran adalah sumber rujukan kepada semua permasalahan yang timbul. Islam tidak pernah melarang umatnya melakukan sesuatu. Contoh yang paling jelas adalah menghibur diri. Nikmat yang Allah kurniakan ini adalah untuk dirasa. Tapi kamu mesti tahu akan batas-batas yang telah ditetapkan oleh-Nya. Islam juga tidak menghalang percintaan antara dua insan .Sedangkan nabi Adam yang berada di syurga inginkan teman. Lebih-lebih lagi kita ini makhluk yang biasa. Kau…Aku…Semuanya inginkan teman…"Kataku panjang lebar. Mei Ling menjeling kepadaku. Dia diam membisu. Mungkin terperangkap dengan kata-kata terakhirku tadi.

-----------------------

Dua hari kemudian, aku menerima panggilan telpon dari Mei Ling. Aku terkejut mendengar suara suara tangis dari gadis cina itu. Suara yang tersekat-sekat menyebabkan aku sukar mentafsir apa yang yang hendak disampaikannya. Aku terus meletakkan gagang telpon dan bergegas ke rumahnya. Aku terkejut. Kelihatan seorang perempuan tua di suatu sudut dengan wajah yang tidak pucat. Kelihatan Mei Ling di sisinya menangis. Perempuan tua itu adalah ibu Mei Ling. Tanpa membuang-buang waktu, aku terus membawanya ke Rumah Sakit.

-------------------------

"Saya harap, kamu bersabar. Ibu kamu menghidap penyakit kanker perut. Dia memerlukan pembedahan dengan kadar segera. Kalau tidak,peluangnya untuk hidup adalah tipis…"Kata-kata dari dokter itu begitu memeranjatkan Mei Ling. Dia menangis. Aku coba menenangkan Mei Ling. Namun tangisannya semakin menjadi-jadi. Oh…Ujian apa yang menimpamu Mei Ling.

--------------------------

"Mei Ling, paman ingin menyampaikan pesan mamamu kepada mu,"kata Chong, paman  Mei Ling. "Apa paman?",tanya Mei Ling lemah. Chong menghulurkan satu sampul surat kepada Mei Ling. Mei Ling terus membukanya….

Anakku Mei Ling,
Mama telah menghidap penyakit ini setahun yang lalu. Namun Mama rahsiakan darimu .Mama sudah tau  akan adanya operasi  yang akan dilakukan terhadap Mama. Namun dengarlah anakku, Mama hanya akan menyetujui  pembedahan dilakukan andai dirimu melupakan niat untuk memeluk Islam.
Mei Ling,
Mama tidak ada mempunyai  orang lain di dunia ini. Hanya kau anakku. Mama rela mati andai kau meninggalkan agama nenek moyang kita.
Mamamu,
Choo...

Mei Ling rebah. Bagaikan satu halilintar yang memanah dirinya. Kini, terbayang wajah mamanya. Terbayang pula kitab suci Al-Qur’an dan Fir, mentornya dalam bertanyakan soal jawab agama. "Adakah ini dugaan untukku?" Mei Ling berbicara dalam hati. "Mama, aku sayang padamu. Andai kau tiada, dimana hidup ini dapat menumpang kasih? Fir… Adakah ini cobaan dari tuhanmu? Tuhan yang bakal aku sembah suatu hari nanti? Mengapa ini harus terjadi padaku?" ucap Mei Ling sendirian.

-----------------------

"Fir, apa yang kau fikirkan itu?" Tanya Bukhari, sahabat baikku. Namun, aku diam. Fikiranku jauh menerawang. Terbayang wajah Mei Ling, terbayang pula sendu tangisnya di Rumah Sakit tempoh hari. "Mei Ling, walau apa pun terjadi, aku tetap menjagamu, membimbingmu ke jalan yang kau impikan selama ini. Percayalah, ibumu akan selamat dan akan mengikut jalan yang kita tujui bersama. Jalan mencapai keridhoan-Nya." Aku mengukir kata di hati.
"Fir, ini ada surat buatmu." Diberikan  Bukhari kepadaku. Ku buka surat itu. Perlahan…

Saudaraku Firdaus,
Bila kau terbaca surat ini, mungkin waktu itu ibuku sedang menjalani pembedahan.
Fir,
Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan. Ibuku telah meletakkan aku dalam keadaan serba salah. Fir, dia tidak akan menjalani pembedahan andai aku meneruskan niat untuk memeluk Islam. Baginya, dia sanggup mati andai melihat aku meninggalkan ajaran nenek moyangku. Maafkan aku Fir. Di dunia ini aku hanya ada ibuku. Dialah segala-galanya. Terima kasih atas bimbinganmu selama ini.
Mei Ling….

Aku terduduk. Badan terasa lemah lemah. Tiada berdaya. Mata berbinar. "Mei Ling, mengapa begitu sempit fikiranmu? Di mana kekuatan hatimu selama ini? Di mana keikhlasanmu terhadap Islam? Mengapa dirimu begitu lemah? Lemah dengan dugaan dunia. Adakah tidak cukup apa yang aku sampaikan selama ini? Mei Ling… Mengapa?" Berbagai persoalan menerjah kotak fikiranku.

-----------------------------------

Hari ini, hidup tiada lagi bererti. Tiada apa lagi yang inginku kejar, kucari. kepergian Mei Ling dari hidupku ibarat merusakkan seluruh kehidupanku. "Fir, di mana kekuatanmu selama ini? Di mana pengetahuanmu dalam berbicara soal agama? Mengapa begitu lemah batinmu? Hancur  dengan seorang insan bergelar Hawa. Insan yang tiada membawa arah. Lemah dengan dugaan dunia. Cinta hakkiki hanya pada yang Esa. Adakah kau lupa semua itu Fir? Mengapa begitu sempit  pemikiranmu? Fir, mengertilah. Cinta hakiki hanyalah padanya. Mengertilah Fir…" Begitulah kata-kata pedas dari Ustaz Saufi yang mengunjungiku siang tadi. Ustaz Saufi yang mengajarkan ilmu agama itu begitu mengambil berat akan diriku.
Beberapa minggu selepas kunjungan Ustaz Saufi, aku mendapat berita yang Mei Ling telah melangsungkan perkahwinan dengan jejaka pilihan ibunya. Berita itu begitu cepat tersebar ke seluruh pekan ini. "Mungkin dia bahagia sekarang." Rintih hatiku…

-----------------------------------

SETAHUN KEMUDIAN

"Fir, adakah kamu membaca berita hari ini?" Tanya Bukhari tergopoh-gopoh. Belum. Mengapa Bukhari?" Tanyaku balik. Tanpa menjawab pertanyaanku, Bukhari terus menghulurkan selembar  koran  yang dibacanya kepadaku.
PEKAN SIPUT,20 AGUSTUS: HARTAWAN MATI DITEMBAK
Hartawan terkenal di pekan ini, Puan Choo Jui ditemukan tewas berlumuran darah di kepala. Mendiang  ditembak oleh menantunya kerena adanya  perselisihan pendapat tentang pembagian harta dalam keluarga tersebut. Menantunya, Tan Bai Loon, ditahan untuk penyidikan polisi. Sementara anak  mendiang ,Mei Ling Soon, ditempatkan di Rumah Sakit karena pingsan akibat dicederakan oleh suaminya.

Aku begitu terkejut mendengar berita tersebut.Tanpa menunda waktu, aku langsung ke Rumah Sakit. Bukhari menghalangiku. Namun, difikiranku hanya terbayang wajah Mei Ling. Sesampainya di Rumah Sakit, aku melihat Mei Ling terkulai diruangan Rumah Sakit. Kelihatan wajahnya begitu lesu. Malam itu, aku menemaninya. Sepanjang malam tersebut, beberapa kali Mei Ling memanggil nama ibunya. Mungkin dia mengalami mimpi buruk akibat kejadian tragis itu.
Keesokan harinya, mayat mendiang Choo Jui  dikebumikan. Aku begitu terharu karena Mei Ling tidak sempat melihat wajah mamanya buat kali terakhir. Tanpa kusadari, air mataku mengalir mengenangkan nasib yang menimpa dirinya. Sementara itu, suami Mei Ling, Tan Bai Loon, menjadi tersangka pembunuh mertuanya, mendiang Choo Jui. Dia dikenakan hukuman gantung sampai mati.
Seminggu selepas kejadian menyayat hati itu, barulah Mei Ling sadar. Kali pertama dia membuka mata, melihat aku di sisinya, dirinya begitu terkejut. "Fir, mengapa kau berada di sini? Aku di mana? Apa yang telah terjadi? Mengapa kau menangis Fir?" Tanya Mei Ling berkali-kali kepadaku. Aku terpaksa menjelaskan semua yang berlaku kepadanya. Walaupun berat hati ini untuk berbuat demikian. Mei Ling menangis teresak-esak mendengar penjelasanku.
"Fir,maafkan aku. Aku khilaf. Aku khilaf Fir. Mungkin ini balasan buatku. Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku Fir? Aku telah menolak Islam. Sedangkan selama ini, aku begitu tenang mendalami ajarannya." Itulah kata-kata keinsafan dari Mei Ling. Disusuli tangisan yang tidak henti-henti...
Sebulan kemudian, di hadapan Imam masjid pekan tersebut, Mei Ling telah melafazkan kalimah syahadah. Namanya ditukar kepada Aisyah Ling Binti Abdullah. Itulah saat-saat yang paling bahagia dalam hidupku…

--------------------------------

Masa berlalu…Kukira tiada lagi tangis dalam hidup Aisyah. Dan juga dalam hidupku. Namun, manusia hanya mampu merancang. Allah menentukan segala-galanya. Panggilan telefon pada suatu pagi dari Rumah Sakit, menghadirkan kembali episod duka dalam hidup aku dan Aisyah. Aisyah diminta ke Rumah Sakit.
"Nona Aisyah, diharap Anda  bersabar. Berdasarkan hasil laboratorium ketika anda dirawat di Rumah Sakit  kami dulu, Anda didapati menghidap HIV positif dari bekas suami Anda. Dan hidup anda  sudah tidak berapa lama lagi." Begitulah kata-kata dokter pada pagi itu.
Aisyah menangis. Apa lagi yang terdaya dilakukan oleh makhluk lemah bergelar wanita itu. "Oh…Tuhan…Adakah ini ujian mu kepadaku? Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa begitu berat ujianmu ini? Dosaku terhadapmu tak sanggup kuhitung. Amalku terhadap mu tiada lagi mencukupi. Mengapa begitu cepat nyawa ini ingin kau ambil kembali? Ampunilah dosaku. Hambamu yang hina ini merintih simpati darimu. Ampunilah dosaku…"Mei Ling merintih sendirian dalam doanya pada malam itu…

-----------------------------------

"Di pantai itu, aku menemani Aisyah. Aisyah, masihkah kau ingat saat ini?" Tanyaku. "Hmm…Cinta adalah laut. Laut yang tidak berpenghujung ibarat cinta yang tidak berakhir. Cinta yang tiada noktah. Cinta yang abadi. Seperti cintaku kepada Penciptaku," katanya penuh perasaan. "Benar katamu itu. Cinta yang paling agung adalah cinta hamba ini kepadanya. "Aisyah, Allah telah mengurniakan banyak nikmat cinta buatku. Nikmat cintaku kepada-Nya. Dan nikmat cintaku kepada seorang hambanya. Hambanya yang berada di depan mataku ini. Aku mencintaimu Aisyah," kataku penuh keikhlasan. Aisyah kaget. Dia diam. Tunduk. Tuduk tiada kata. "Aisyah, tataplah mataku. Aku ingin memperisterikanmu. Percaya pada kataku ini. Aku sanggup menanggung semuanya. Aku rela Aisyah," tambahku lagi. Aisyah menangis...
"Fir, hidupku tinggal sebentar lagi. Kau akan menyesal suatu hari nanti. Kau sanggup kehilangan aku?" Tanya Aisyah. "Mengertilah Aisyah…Mengapa harus kulupakan akan nikmat cinta kurniaan Allah ini? Sedangkan ini adalah nikmat yang Allah telah kurniakan buat semua hambanya. Aku akan menjagamu. Hidup dan mati adalah ketentuannya. Cinta hakikiku hanya kepada-Nya. Tapi, salahkah aku mencintai hamba-Nya ini? Salahkah kalau aku ingin membantumu, menyayangimu, seperti mana Allah menyayangi hamba-Nya? Kau terlalu memikirkan akan kematian itu. Aisyah, kita hanya mampu merancang. Allah menentukan. Tataplah mataku. Kau adalah cinta abadiku. Dan Allah cinta hakikiku…"Jawabku panjang lebar.

-----------------------------------

Kebahagian berumah tangga bersama Aisyah begitu singkat berlalu. Banyak kenangan indah yang diukir bersama. Namun di suatu pagi yang hening, di saat umat Islam lain sedang menzuhudkan diri mereka kepada Allah, Aisyah telah pergi buat selama-lamanya. Wajahnya begitu tenang bercahaya.Meninggalkan aku sendirian…
"Fir suamiku,terima kasih atas segalanya.Aku menunggumu di sana…"Itulah kata-kata terakhir Aisyah kepadaku. Aku pasrah. Malam itu, Aisyah hadir dalam mimpiku. Melambai-lambai kepadaku. Di satu tempat yang begitu indah, suci…

-----------------------------------

Kelihatan pemuda yang sedang tunduk ke pasir itu bangun dari tempatnya. Dan berlalu pergi… Itulah Firdaus. Hari-hari seterusnya tiada lagi kelihatan Fir di pantai itu. Di suatu malam yang sunyi, Fir telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. HIV positif yang diderita dari arwah isterinya, menular padanya yang berakhir  kepada kematian itu. Dia dikebumikan di sebelah pusara arwah isterinya,Aisyah Ling binti Abdullah. Mungkin mereka sedang bahagia di sana…
Inilah Islam, cinta dan pengorbanan…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar