Minggu, 11 April 2010

Khulu' Fasakh (fiqih kelas 2 aliyah)


Tugas Fiqih : Tentang Khulu’ Fasakh
Kelas : XI Ipa MA
I. PENDAHULUAN
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri, namun kenyataan membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan dan kelestarian bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan pandangan hidup tersebut.
Pada dasarnya pergaulan suami istri merupakan persenyawaan jiwa raga dan cipta rasa, maka antara suami istri diwajibkan bergaul dengan sebaik-baiknya. Firman Allah :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً {النساء : 19}
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Oleh karena itu, apabila adanya suatu perselisihan yang terjadi antara suami istri wajib diusahakan dengan cara musyawarah dan mufakat. Apabila perselisihan / krisis rumah tangga tersebut sedemikian memuncak dan tidak mungkin untuk dapat diselesaikan maka cara yang harus ditempuh dengan cerai / diceraikan dan suatu perkawinan dapat berakhir karena terjadinya thalaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri.

II. PEMBAHASAN
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).
Talak (putusnya perkawinan)
Sebenarnya dalam Islam, talak berada di tangan laki-laki, karena laki-laki adalah pilar keluarga dan pilar wanita, dan juga karena laki-laki lebih sedikit menuruti gejolak perasaan dibandingkan wanita. Seorang laki-laki akan berpikir berkali-kali tatkala hendak menjatuhkan talak, karena dia telah bekerja keras dalam melakukan proses pernikahan. Dia yang membayar mahar (mas kawin) dan menyediakan tempat tinggal. Bila terjadi talak, maka dia harus membayar sisa mahar yang belum dibayar, memberikan nafkah, baik kepada mantan isteri maupun anak-anak.
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena (a) kematian (b) cerai hidup.
Yang dimaksud dengan cerai mati adalah perceraian yang terjadi jika salah seorang suami atau isteri meninggal. Bila terjadi hal demikian, maka yang ditinggalkan mempunyai masa iddah 4 bulan 10 hari (surat al-Baqarah ayat 234).
Sedangkan yang dimaksud cerai hidup adalah cerai karena berdasarkan gugatan perceraian. Dalam surat al-Baqarah ayat 229 disebutkan bahwa “Talak yang dapat dirujuk dua kali, setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang makruf”. Kemudian dalam surat an-Nisa’ ayat 35 disebutkan “Dan jika kami khawatir ada persengketaan di antara keduanya, kirimlah haqam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang haqam dari seorang wanita, jika kedua orang haqam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu”.
Masa iddah cerai hidup tergantung dari kondisi si isteri, sebagaimana dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 153 ayat 2, masa iddah bagi wanita haid yang dicerai adalah 3 kali suci (90 hari). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya (menunggu) 3 kali suci.” Sedangkan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya. Firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 4 “Dan wanita-wanita yang putus dari haid di antara wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka masa iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu pula wanita yang tidak haid dan perempuan yang hamil, waktu iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya.” Bila talak dilakukan sebelum suami ‘menggauli’ isterinya, maka tidak ada masa iddah (surat al-Baqarah ayat 236 dan ayat 237).
Khulu’ dan Fasakh
Dalam buku Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI disebutkan bahwa perceraian (talak) terjadi atas:
1. Inisiatif suami, yang terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu
a. Talak yaitu hak suami untuk menceraikan isterinya dengan kata-kata tertentu
b. Khulu’, yaitu talak tebus karena isteri memberikan sesuatu benda atau uang, sebagai tebusan pada suaminya agar suaminya menjatuhkan talak padanya, supaya mereka dapat bercerai
c. Ta’lik talak yaitu talak yang digantungkan pada terjadinya sesuatu yang disebutkan dalam ikrar talak sesuah ijab Kabul dilangsungkan.
2. Inisiatif isteri, yang disebut fasakh. Fasakh adalah bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan isteri karena suaminya sakit gila, sakit kusta, sakit sopak atau sakit berbahaya lainnya yang sukar disembuhkan atau karena cacat badan lainnya yang menyebabkan suami tak dapat melaksanakan sebagai suami
Menurut pendapat penulis, khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui khulu’ maupun fasakh.
Di dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi isterinya, ia berhak menjatuhkan talak, begitu pula sebaliknya, jika isteri merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia dapat mengajukan gugatan cerai, yang dikenal dengan istilah khulu’.
1. Fasakh
Dalam putusnya perkawinan sebab fasakh bahwa hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudlaratan terhadapnya.
Pada fuqaha menetapkan jika dalam kehidupan suami istri menimbulkan sikap kemudlaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita dapat memutuskan perkawinan melalui hakim untuk menfasahkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita.
Beberapa alasan fasakh
a) Tidak adanya nafkah bagi istri
b) Terjadinya cacat / penyakit pada salah satu pihak
c) Penderitaan yang menimpa istri
2. Khulu’ (thalaq tebus)
Khulu’ adalah thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami, thalaq ini biasanya dilakukan atas kehendak istri dan dapat dilakukan sewaktu suci maupun haid.
Khulu’ dapat mengakibatkan bekas suami tidak dapat rujuk kembali dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan kawin kembali melalui aqad baru.
Beberapa hukum tentang khulu’ diantaranya wajib apabila atas permintaan istri dikarenakan suami tidak mau memberi nafkah batin terhadap istri, haram jika hanya untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Mubah ketika istri ada keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan lain, makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu dan dapat menjadi sunnah bila dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya. Menurut Imam Syafi’i asal hukum khulu’ adalah makruh dan dapat menjadi sunnah hukumnya bila si istri tidak baik dalam bergaul bagi si suami.
Khulu’ dalam istilah fikih dinamakan juga tebusan, karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan mas kawin sebagaimana yang dia terima ketika pernikahan. Menurut ahli fikih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi. Khulu’ dapat dilakukan bila ada alasan pembenar, misalnya suami tidak dapat memenuhi kewajibannya, cacat fisik yang dapat mengganggu keharmonisan, suami berperilaku jelek dan sebagainya yang dapat mencegah tercapainya tujuan perkawinan. Dengan pengertian ini, khulu’ dan fasakh tak ada bedanya.
Khulu’ dapat terjadi dengan persetujuan atau tanpa persetujuan suami, jika tidak tercapai persetujuan suami dan isteri, pengadilan dapat menjatuhkan khulu’ kepada suami.
Dalam sebuah hadits diceriterakan, isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah s.a.w. sambil berkata: “Hai Rasulullah, saya tidak mencela akhlaq dan agama suami saya, tetapi saya tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah s.a.w. “Maukah kamu mengembalikan kebunnya?” Jawabnya “Mau”. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: “Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali”. Dalam hadits itu Nabi tidak menanyakan lebih lanjut kepada Tsabit, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataan ketidaksenangan isterinya. Dengan demikian, khulu’ dianggap sah, walaupun suaminya tidak setuju, karena yang dirugikan adalah pihak isteri.
Oleh karena itu tak dapat disalahkan, bahwa dalam keadaan dunia yang semakin maju, banyak wanita, khususnya dari kalangan selebriti menggunakan haknya yang nyata-nyata telah dibolehkan oleh Islam, yaitu hak melakukan gugagan cerai terhadap suaminya, baik melalui khulu’ maupun fasakh,..........^_^

2 komentar: