Sabtu, 17 Juli 2010

BIOMARKER DALAM GAGAL JANTUNG

Gagal jantung, salah satu masalah kesehatan masyarakat utama dan terus berkembang, timbul bukan hanya dari kelebihan beban jatung ataupun cedera jantung tetapi juga dari keterlibatan beberapa faktor antara genetic, neurohormonal, inflamasi, dan perubahan biokimia yang berperan pada sel miosit jantung, interstitium jantung, ataupn keduanya. Kenaikan jumlah beberapa enzim, hormone, substansi biologi, dan penanda lain seperti stress dan malfungsi jantung, termasuk cedera sel miosit, secara kolektif disebut Biomarker, tampak memiliki kepentingan klinis yang terus berkembang. Walaupun biomarker mencakup varian genetic, gambaran klinis, tes faal, dan biopsy jaringan, bahasan ini hanya terfokus pada biomarker yang didapat dari darah ataupun urin selain dari level serum Hemoglobin, elektrolit, enzim hati, dan kreatinin, yang secara rutin digunakan dalam praktek pelayanan klinis.

Morow dan De Lemos telah menetapkan tiga criteria yang harus dipenuhi biomarker agar dapat bermanfaat secara klinis. Pertama, akurat, Pengukuran ulang harus dapat dilakukan oleh para klinisi dengan harga yang terjangkau dan dalam waktu yang singkat ; Kedua, Biomarker harus menyediakan informasi yang tidak dapat ditemukan dengan pemeriksaan klinis yang teliti ; Dan yang terakhir, mengetahuinya ( biomarker ) harus dapat membantu dalam penegakan keputusan medis.

Meskipun sedikt dari Biomarker yang dibahas memenuhi criteria tersebut, namun kebanyakan terbukti memberikan informasi penting menyangkut masalah patogenesis dari gagal jantung atau proses identifikasi subjek dengan resiko gagal jantung ataupun tampak berguna dalam stratifikasi resiko gagal jantung, dalam penegakan diagnosis gagal jantung, ataupun dalam pengawasan terapi. Banyak dari Biomarker itu sendiri juga merupakan faktor resiko, dan dengan begitu menjadi salah satu target terapi yang potensial. Walaupun tak ada klasifikasi spesifik untuk biomarker yang dapat diterima, saya mengajukan mereka dibagi dalam enam kategori, termasuk kategori ketujuh yaitu Biomarker terbaru yang belum terkarakteristik secara utuh.

1. INFLAMASI
Inflamasi penting dalam hal patognesis dan dan perkembangan pada banyak jenis dari gagal jantung, dan biomarker dari inflamasi telah menjadi subjek dalam penelitian yang intensif. Ketertarikan pada keberadaan mediator inflamasi pada pasien dengan gagal jantung dimulai pada tahun 1954, saat essay mengenai C – reaktif protein, protein yang timbul dalam serum pada berbagai kondisi inflamasi, telah tersedia. Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 1956 melaporkan bahwa C-reaktif protein dapat dideteksi pada 30-40 pasien dengan gagal jantung kronik dan gagal janung akan menjadi lebih parah pada pasien dengan jumlah c-protein yang tinggi. Dengan begitu, C-reaktif protein didefinisikan sebagai reaktan fase akut yang disintesis oleh hepatosit sebagai respon pada sitokin interleukin-6 proinflamasi. Penggunaan c-reaktif protein sebagai biomarker semakin umum dengan dikembangkannya tes c-reaktif protein yang murah dan tinggi sensitiftasnya Berbagai analisis menunjukkan bahwa kenaikan c-reaktif protein merupakan predictor tunggal pada hasil akhir dari pasien dengan gagal jantung akut maupun kronis. Dalam Studi Jantung Framingham, sebagai contoh, C-reaktif protein ( termasuk sitokin interleukin-6 dan TNF α ) tercatat sebagai pengidentifikasi subjek lansia tanpa gejala tetapi memiliki resiko tinggi.
Selanjutnya, C-reaktif protein telah menunjukkan memberi efek langsung pada endotel pembuluh darah dengan mengurangi pelepasan nitrit-oksida dan meningkatkan produksi endothelin-1, dengan begitu menginduksi timbulnya molekul adhesi dari endotel. Penemuan ini menunjukkan bahwa C-reaktif protein kemungkinan besar memiliki peran penting dalam penyakit vascular dan dengan begitu dapat menjadi target terapi. Meskipun begitu, Kenaikan jumlah C-reaktif protein kurang spesifik ; contohnya, infeksi akut dan kronik, merokok, sindrom koroner akut, dan tahap inflamasi aktif semuanya dihubungkan dengan kenaikan jumlah dari C-reaktif protein.

Pada tahun 1990, Levine dkk, mendeskripsikan kenaikan jumlah dari TNF α pada pasien dengan gagal jantung. TNF α dan paling sedikit tiga interleukin ( interleukin 1, 6, 8 ) diangggap sebagai sitokin proinflamasi yangdihasilkan oleh sel berinti dalam jantung. Hipotesis sitokin menyatakan bahwa kejadian presipitasi- seperti cedera jantung iskemik- memicu respon stress, termasuk elaborasi dari dari sitokin proinflamasi, dan efek dari sitokin ini berhubungan dengan efek hilangnya fungsi dari ventrikel kiri dan memacu progresivitas dari gagal jantung. Sitokin proinflamasi ini merupakan penyebab dari apoptosis miosit an nekrosis ; interleukin-6 menginduksi respon hipertrofi pada miosit, dan TNF α menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, tampaknya dari aktivasi jaringan metalloproteinase. Interleukin-6 dan TNF α dapat menjadi alat perkiraan perkembangan gagal jantung pada subjek lansia tanpa gejala dalam studi dengan melihat kadarnya, walaupun penghambatan dari TNF α tidak memberi keuntungan klinis bagi pasien dengan gagal jantung.
Fas ( atau disebut juga APO-1) merupakan anggota dari reseptor TNF α yang tampak pada berbgai sel, termasuk miosit. Saat Fas diaktivasi oleh Ligand Fas akan menjadi mediasi terjadinya apoptosis dan memainkan peran penting pada perkembangan dan progresifitas gagal jantung. Peningkatan serum dari bentuk Fas yang soluble telah dilaporkan pada pasien dengan gagal jantung, dan semakin tinggi dihubiungkan dengan keparahan penyakit. Inhibisi dari Fas yang soluble pada hewan menurangi remodeling ventrikel post infark dan meningkatkan ketahanan hidup. Upaya farmakologis dalam mengurangi kadar Fas masih dalam penelitian tetapi dapat menjadi petunjuk baru dalam terapi gagal jantung maupun pencegahannya. Dan benar, pemasukan dari agen imunoodulating nonspesifik- pentoxifilin atau Ig iv- mengurangi kadar plasma dari Fas dan juga C-reaktif protein dan dilapokan memberi perbaikan pada fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan iskemik atau kardiomiopati dilatasi.

Dengan begitu, pengukuran dari C-reaktif protein, sitokin inflamasi, Fas, dan reseptor solublenya, meberikan manfaat dalam stratifikasi resiko pada pasien dengan gagal jantung dan dalam pemantauan subjek tanpa gejala dengan resiko tinggi gagal jantung. Selanjutnya, profil dari perubahan biomarker inflamasi akan dapat membantu untuk mengenal gangguan inflamasi spesifik pada pasien apapun dan dengan begitu dapat memilih terapi yang sesuai dan tepat.
2. STRES OKSIDATIF
Peningkatan stress oksidatif yang didapat dari ketidakseimbangan antara jenis oksigen reaktif ( termasuk anion super oksida, hydrogen peroksida, dan radikal hidroksil ) dan mekanisme pertahanan antioksidan dalam tubuh. Ketidakseimbangan dapat menyebabkan efek hilangnya fungsi endotel termasuk dalam patogenesis dan dan progresifitas dalam gagal jantung. Stres oksidatif dapat merusak protein selular dan menyebabkan apoptosis miosit dan nekrosis. Dan juga dihubungkan dengan aritmia dan disfungsi endothelial, dengan disfungsi yang terjadi melalui reduksi aktivitas sintesis nitrit oksida termasuk inaktivasi dari nitrit oksida. Aktivasi imun dan inflamasi, Aktivasi dari sistem RAA dan sistem saraf simpatis,dan penigkatan kadar sirkulasi katekolamin dan juga peroksinitrit yang terbentuk dari interaksi anion superoksida dan nitrit oksida semuanya dapat meningkatkan stress oksidatif.

Karena sulitnya mengukur jenis oksigen reaktif secara langsung pada manusia, Penanda tak langsung telah ditemukan. Termasuk didalamnya Plasma-oksidasi-low density lipoprotein, malondialdehid, dan myeloperoksidase ( Index dari aktivasi leukosit ), Kadar biopyrrin dalam urin ( metabolit oksidatif dari bilirubin ) , dan kadar isoprostane dalam plasma dan urin. Kadar dari myeloperoksidase plasma dan ekskresi isoprostane berhubungan dengan keparahan dari gagal jantung dan merupakan predictor tunggal pada kematian akibat gagal jantung, bahkan setelah penyesuaian variable dasar. Ekskresi dari8-isoprostane dalam urin berhubungan dengan kadar jaringan metalloproteinase dalam plasma, yang dalam kadar tinggi dapat memacu remodeling ventrikel dan meningatkan keparahan dari gagal jantung.

Telah ada bukti-bukti yang semakin kuat bahwa xantin oksidase, yang mengkatalisasi produksi dari dua oksidan yaitu hipoxantin dan xantin, memainkan peranan patologis dalam gagal jantung. Produksi asam urat meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas xantin oksidase. Peningkatan asam urat berhubungan dengan hemodinamik yang tidak seimbang dan secara tunggal memperkirakan prognosis lanjut dalam gagal jantung. Meskipun studi lanjut dibutuhkan, namun asam urat terbukti sederhana, bermanfaat, nonspesifik albeit, sebagai indicator klinis untuk stress oksidatif

3. REMODELING MATRIKS EKSTRASELULER
Remodeling dari ventrikel memainkan peranan penting dalam progresifitas gagal jantung. Jaringan ekstraseluler berfungsi sebagai “ tulang “ untuk sel miosit dan bentuk dan ukuran miosit. Normalnya, terdapat keseimbangan antara matriks metalloproteinase ( enzim proteolitik yang mendegradasi kolagen fibril ) dengan jaringan inhibisi dari metalloproteinase. Ketidakseimbangan, dengan dominansi dari jaringan metalloproteinase disbanding dengan jaingan inhibisinya dihubungkan dengan dilatasi dan remodeling ventrikel. Peningkatan abnormal pada sintesis kolagen juga dapat menyebabkan hilangnya fungsi jantung akibat fibrosis berlebihan akan mengganggu fungsi ventrikel. Propeptide prokolagen tipe I merupakan biomarker serum dari biosintesis kolagen. Querejeta dkk, mendapatkan korelasi positif antara kadar serum propeptide prokolagen tipe I dengan volume fraksi dari jaringan fibrous yang didapat dari biopsy jantung pada pasien dengan hipertensi esensial. Cicoira dkk, melaporkan bahwa kadar plasma prokolagen tipe III pada pasien dengan gagal jantung merupakan predictor tunggal untuk mengetahui gambaran hasil akhirnya.
Dengan begitu, Peningkatan dari penanda meningkatnya pemecahan jaringan ekstraseluler dan juga sitesis berlebihan dari kolagen dihubungkan dengan penrunan fungsi ventrikel kiri dan memberi gambaran klinis hasil akhir dari pasien dengan gagal jantung. Marker dari proses ini menjadi target terapi yang penting. Meskipun begitu, ada sedikitnya 15 jaringan metalloproteinase dan beberapa bentuk prokolagen dan jaringan inhibisi metalloproteinase yang telah dikenal. Mana dari semua itu yang memberikan informasi dan sesuai untuk peneriksaan rutn masih perlu klarifikasi.

4. NEUROHORMON
Di awal tahun 1960an dilaporkan pasien dengan gagal jantung mempunyai peningkatan abnormal dari kadar norepinefrin plasma satat istirahat dan lebih tinggi lagi saat olahraga. Ekskresi NE lewat urin juga menngkat. Penemuan ini menunjukkan bahwa sistem saraf simpatis diaktivasi pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan neurohormonal memainkan peranan patogenesis pada gagal jantung. Cohn dkk, Menunjukkan bahwa kadar NE plasma merupakan predictor tunggal dari kematian. Swedberg dkk, membuat penemuan penting yaitu pada Sistem RAA yang diaktivasi pada pasien gagal jantung.

Maka, setelah penemuan itu, perhatian difokuska pada Endotelin 1 besar, sebuah prohormon 39-asam-amio yang disekresi oleh sel endotel vaskuler yang dikonversi dalam sirkulasi menjadi neurohormon aktif Endothelin 1, atau disebut juga hormone peptide 21 asam amino. Endothelin satu merupakan stimulant yang kuat untuk kontraksi otot halus vaskuler dan proliferasinya, fibrosis ventrikel dan pembuluh darah, dan potensiator untuk neurohormo yang lain. Kadar plasma dari keduanya baik Endotheln 1 dan Endothelin satu besar meningat pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungka secara langsung dengan tekanan arteri pulmonalis, keparahan penyakit, dan kematian. Investigator Valsartan Heart Failure Trial ( ValHeFT ) membandingkan ketepatan prognosis dari berbagai neurohormon pada 4300 pasien. Dan predictor paling kuat untuk kematian dan hospitalisasi untuk gagal jantung, setelah BNP adalah Endhotelin 1 besar, NE, Endhotelin 1, Aktivitas rennin plasma, dan aldosteron. Meskipun begitu percobaan yang melibatkan beberapa antagonis endhotelin 1 reseptor telah gagal memberikan efek klinis yang menguntungkan pada hasil akhir penyakit.

Pada Randomized Aldacton Evaluation Study (RALES) pada pasien dengan gagal jantung yang severe, Zaned dkk, menemukan dengan injeksi aldosteron bloker, spironolakton, dihubungkan dengan reduksi dari plasma prokolagen tipe III dan memiliki manfaat klinis, tetapi hanya pada pasien dengan kadar dasar prokolagen tipe III yang diatas median. Administrasi dari spironolakton pada pasien dengan infark miokard akut menurunkan sintesis kolagen miokard, dengan gambaran plasma prokolagen tipe III, termasuk juga pada remodeling ventrikuler kiri post infark. Bila digabung, maka penemuan tersebut menunjukkan dengan membatasi sintesis dari jaringan ekstraseluler menjadi kompenen penting dalam manfaat penggunaan spironolakton pada pasien dengan gagal jantung severe
Arginin vasopressin merupakan nonapeptide yang disintesis di hipotalamus dan disimpan di glandula pituitary posterior dan memiliki efek antidiuretik dan vasokonstriktor. Pelepasan berlebihan dari arginin vasopressin memperberat gagal jantung dihubungkan dengan dilusi hiponatremi, akumulasi cairan, dan sistemik vasokonstriksi. Dimana kadar arginin vaopresin plasma meningkat pada pasien dengan gaal jantung akut dan kronik dan berhubungan dengan hasil akhir klinis yang buruk, Blok dari vasopressin 2 reseptor menghilangkan gejala akut tetapi tidak mengubah perjalanan penyakit gagal jantung severe. Dengan begitu, masih belum jelas apakah reseptor tersebut dapat menjadi target terapi.

5. CEDERA MIOSIT
Merupakan akibat dari iskemia berat, tetapi juga dapat merupakan akibat dari stress pada miokardium seperti, inflamasi, stress oksidatif, dan neurohormonal aktivasi. Selama dua decade terakhir, protein myofibril-Troponin T dan I- telah timbul sebagai penanda sensitive dan spesifik untuk cedera miosit dan telah membantu dalam diagnosa, stratifikasi resiko, dan perawatan pasien dengan sindrom koroner akut.

Kenaikan ringan dari cardiac troponin juga ditemua pada pasien dengan gagal jantung tanpa iskemia. Horwich dkk, melaporkan Troponin jantung I terdeteksi ( ≥ 0.04 ng per mililter ) dalam hampir setengah dari 240 pasien dengan gagal jantung kronis lanjuttanpa iskemia. Stelah penyesuaian dengan beberapa faktor yang berkaitan dengan prognosis yang buruk, keberadaan Troponin I tetap menjadi prediktor tunggal untuk kematian.
Troponin T yang kadarnya lebih dari 0.02 ng per milliliter pada pasien dengan gagal jantung kronik dihubungkan dengan rasio kematian diatas 4. Peacock dkk, melaporkan pengukuran troponin merupaka predictor dari hasil akhir pasien yang di hospitalisasi dengan gagal jantung akut dekompensata. Latini dkk, menemukan dengan assay standard troponin T ditemukan pada 10% pasien dengan dengan gagal jantung kronis, tetapi dengan assay baru dengan sensitifitas tinggi dapat dideteksi pada 92% pasien. Setelah penyesuaian denan variable dasar dan kadar BNP, deteksi dari troponin T dengan menggunakan assay dengan sensitifitas tinggi dihubungkan dengan naiknya resiko kematian. Studi ini menunjukkan bahwa kadar Troponin T memberikan informasi penting mengenai prognosis. Dengan berkembangnya sensitifitas dari analisa Troponin, maka biomarker ini akan dapat dideteksi pada seluruh populasi dan sejalan dengan natiuretik peptide dapat digunakan rutin unutk prognosis dan respon terapi pasien gagal jantung.

Protein jantung yang lain seperti – Miosin light chain 1,Heart fatty-acid binding protein, dan fraksi kretinin kinase MB- juga bersirkulasi pada pasien dengan gagal jantung severe. Seperti halnya Troponin T, keberadaan proten miokard dalam serum merupakan predictor akurat untuk kematian dan hospitalisasi pasien dengan gagal jantung. Selanjutnya perlu dibandingkan antara keduanya untuk membuktikan keakuratannya.

6. STRES MIOSIT
Brain NatriuretcPeptide
Disintesis di miosit. BNP dilepas saat terjadi stress hemodinamik seperti Dilatasi ventrikel, Hipertrofi, ataupun keneikan tekanan dinding jantung. BNP dapat menyebabkan vasodilatasi arteri, diuresis, dan natriuresis, dan mengurangi aktivitas sistem RAA dan saraf simpatis sehingga merupakan kompensasi dari abnormalitas faal pada gagal jantung.

Merupakan salah satu biomarker yang banyak di tes pada pasien gagal jantung karena keakuratannya paling tinggi di banding yang lain Diekskresi lewat ginjal, sehingga terdapat peningkatan kadar pada gangguan ginjal termasuk gagal ginjal. Juga terdapat peningkatan berkaitan dengan umur diduga berhubungan dengan fibrosis miokard atau disfungsi renal. Dan juga terjadi peningkatan pada hipertensi pulmonal. Maka semua hal ini harus diperhitungkan dalam pengukuran BNP.

BNP juga terbukti bermakna dalam evaluasi pasien dengan dyspneau berkaitan dengan penentuan manajemen penanganan pasien lebih lanjut. BNP jua merupakan predictor akurat untuk ketahanan hidup pasien dengan gagal jantung akut dekompensata.

BNP juga merupakan target terapi karena dengan rendahnya kadar akan mengurangi resiko kematian disbanding dengan yang memiliki kadar BNP tinggi. BNP juga berguna untuk skrining pasien resiko tinggi tanpa gejala.

Adrenomedulin
Disintesa dan terdapat pada jantung, medulla adrenal, dan ginjal. Merupaka vasodilator yang poten dengan efek inotropik dan natriuretic, produksinya dirangsang oleh tekanan cardiac dan volume overload. Meningkat pada pasien dengan gagal jantung dan lebih tinggi lagi pada gagal jantung severe.

ST2
Diinduksi dan dilepas oleh sel miosit yang teregang. Dapat menekan produksi sitokin inflamasi. Merupakan predictor kematian yang kuat.

7. BIOMARKER TERBARU
Chromogranin A
Hormon polypeptida yang dihasilkan oleh miokardium yang memiliki efek inotropik negative.
Galectin 3
Protei yang dihasilkan oleh aktivasi makrofag
Osteoprotegerin
Bagian dari TNF reseptor yang memiliki kaitan dengan perkembangan disfungsi ventrikel kiri.
Lain-lain
Adinopectin, berkaitan dengan index massa tubuh
Growth differentiation factor 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar